skip to Main Content

Aspal Buton Sebagai Produk Unggulan Industri Strategis Nasional

Oleh: A. Juanda

Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia membawa hikmah dan kesadaran bagi setiap negara, khususnya yang mampu bertahan atau survive dengan mengandalkan sumber dayanya sendiri. Artinya, negara yang menggantungkan hidup dari produk impor tentu akan mengalami kesulitan. Itulah alasan Pemerintah Indonesia secara serius menggalakkan pengoptimalan sumber daya alam dengan meningkatkan nilai tambahnya.

Aspal Buton (Asbuton) adalah sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya, tetapi belum termanfaatkan secara optimal. Sampai saat ini, Indonesia masih 75% impor Aspal Minyak, sedangkan 25% diproduksi oleh PT. Pertamina yang notabene menggunakan bahan baku minyak bumi impor dari Timur Tengah.

Nilai TKDN Aspal Pertamina – menurut laman tkdn.kemenperin.go.id – sebesar 9,29%, sedangkan Aspal Impor tentunya di bawah 5%. Saat ini industri aspal buton sudah difasilitasi sertifikasi TKDN dengan Nilai TKDN produk Asbuton olahan sesuai laman yang sama adalah antara 30% – 85%. Menurut Permenperin No. 2 Tahun 2014 dan PP No. 29 Tahun 2018, barang dengan nilai TKDN di atas 40% masuk dalam kategori Barang Wajib Pakai. Berarti Asbuton sudah masuk kategori wajib pakai.

Jika diasumsikan kebutuhan aspal nasional rata-rata 1,2 juta ton per tahun, maka volume impor aspal selama ini adalah 900.000 ton dengan nilai devisa hampir US$450.000.000 (dengan asumsi harga aspal US$500 per ton) atau setara lebih dari Rp6 triliun. Ironisnya, cadangan deposit Asbuton di Pulau Buton mencapai 663.000.000 ton (sesuai survei Kementerian PUPR Tahun 2011), yang jika dimurnikan akan menghasilkan Aspal lebih dari 150 juta ton atau dapat memenuhi kebutuhan aspal nasional hingga 125 tahun. Indonesia akan swasembada aspal, dan tidak menutup kemungkinan sebagai negara eksportir aspal.

Secara teknis, Asbuton tidak perlu diragukan lagi. Kementerian PUPR melalui Ditjen Bina Marga telah menerbitkan spesifikasi teknis sebagai petunjuk penggunaan Asbuton. Selain itu telah diterbitkan pula SNI untuk lima tipe Asbuton olahan, sehingga mutu dapat dipertanggungjawabkan. Selama ini Asbuton juga sudah diekspor ke RRC sebagai additive yang terbukti dapat meningkatkan mutu jalan.

Secara regulasi, sudah begitu banyak peraturan maupun perundang-undangan baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang memayungi penggunaan Asbuton secara massif, baik untuk pembangunan dan preservasi jalan tol, jalan nasional, jalan kabupaten/kota hingga jalan pedesaan. Dengan kata lain, seluruh pemangku kepentingan sudah satu suara dalam hal menggunakan Asbuton secara nasional.

Secara industri, saat ini ada 16 produsen Asbuton olahan aktif yang tergabung di dalam Asosiasi Pengembang Aspal Buton Indonesia (ASPABI), yang juga dalam pembinaan Direktorat Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam, Ditjen IKFT Kemenperin. Industri Asbuton olahan diharapkan dapat menjadi sektor yang memberikan nilai tambah bagi pembangunan dan perekonomian Indonesia.

Apabila memang sudah sangat didukung begitu rupa, mengapa Asbuton masih belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Sedikitnya ada lima isu yang muncul di lapangan yang membuat resistensi di kalangan pengguna.

Pertama, inkonsistensi Mutu. Asbuton adalah industri berbasis tambang terbuka, sehingga sangat bergantung pada keseragaman mutu bahan baku yang secara lapangan sulit diperoleh. Dengan terbitnya SNI dan telah d fasilitasi sertifikasi ISO dari Kemenperin, diharapkan para Produsen sudah dapat mengantisipasi keragaman bahan baku dengan manajemen pengelolaan bahan baku yang tepat.

Kedua, Asbuton sulit diperoleh. Sampai saat ini utilisasi pabrik masih di bawah 10%, sehingga pabrik masih melakukan produksi terhadap order yang diterima. Oleh karena itulah Sistem Penyangga (Buffer Stock) menjadi solusi yang tepat, sebagaimana diamanatkan dalam Permen PUPR No. 18 tahun 2018.

Ketiga, waktu pengiriman Asbuton tidak pasti. Asbuton berasal dari Pulau Buton, dimana infrastruktur transportasi membutuhkan peningkatan. Tol Laut sudah mencakup pengiriman Aspal (Asbuton), akan tetapi volume permintaan masih kecil sehingga kita belum bisa melakukan manajemen pengiriman yang tepat. Dengan sistem Buffer Stock, maka diharapkan ketersediaan Asbuton di setiap wilayah bisa diwujudkan.

Dan, empat, adalah harga mahal. Beberapa pengguna merasa harga Asbuton lebih mahal dari harga Aspal Minyak. Secara bisnis, Harga Pokok Produksi (HPP) Asbuton olahan sangat bergantung pada kapasitas produksi. Semakin besar volume produksi, semakin murah harganya. Jadi jika ada kebijakan pemakaian Asbuton secara besar, otomatis harga bisa turun, dan sudah seharusnya harga Asbuton lebih murah dari harga aspal impor.

Guna mewujudkan harapan bahwa Asbuton bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, maka perlu diambil kebijakan menyeluruh tentang pemanfaatan Asbuton. Saat ini Kemenkomarves sedang mengkoordinasikan dengan kementerian lembaga terkait untuk realisasi penggunaan Asbuton.

Contohnya, melalui ditjen bina marga telah disusun program penggunaan Asbuton tersebut, mengingat jumlah panjang jalan nasional hanya 10% dari total panjang jalan di Indonesia, maka dibutuhkan kebijakan dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di bawah Kemendagri untuk penggunaan Asbuton secara massif untuk pembangunan dan preservasi Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota yang total panjang jalannya mencapai hampir 90% jalan di Indonesia.

Di samping itu, Direktorat ISKPBGN dan ASPABI berupaya terus berkoordinasi dengan Kemendes dan Kemendagri untuk penggunaan Asbuton untuk pembangunan jalan pedesaan dengan sistem Padat Karya Tunai Desa dinilai sangat tepat, karena Asbuton dapat dikerjakan secara padat karya dan peralatan minim dengan hasil yang lebih baik dan harga yang lebih murah. Dalam hal ini, Bina Marga PUPR telah menerbitkan Buku Jalan Pedesaan sebagai juklak teknis penggunaan di lapangan.

Back To Top