Sektor Andalan Bagi Pemulihan Ekonomi Nasional

Industri kimia, farmasi dan tekstil (IKFT) merupakan kelompok manufaktur yang mendapat prioritas pengembangan oleh pemerintah. Sektor strategis ini dinilai mampu berkontribusi signfikan bagi upaya pemulihan ekonomi nasional dari tekanan pandemi Covid-19.
Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus memacu kinerja sektor IKFT agar lebih produktif dan berdaya saing di tengah kondisi sulit karena pandemi. Berbagai kebijakan dan stimulus telah digulirkan guna menjaga keberlangsungan usaha dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
“Tantangan yang dihadapi saat ini, diharapkan bisa membawa peluang bisnis baru, terutama di sektor IKFT. Oleh karenanya, pelaku industri kita dituntut untuk bisa berinovasi dalam menghadapi era adaptasi kebiasaan baru akibat dampak pandemi,” kata Direktur Jenderal IKFT Kemenperin, Muhammad Khayam di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dirjen IKFT mengemukakan, pihaknya melakukan revisi terhadap target rencana strategis sektor IKFT dengan menyesuaikan perkembangan kondisi terkini akibat covid-19. Untuk tahun 2020, sektor ikft merevisi target pertumbuhan menjadi -2,10 persen dari sebelumnya sebesar 4,56 persen. Sedangkan di tahun 2024 pertumbuhan dibidik sebesar 7,56 persen. Sementara itu, untuk kontribusi sektor IKFT sepanjang tahun ini dipacu mencapai 4,25 persen.
“Target itu sudah memperhitungkan kondisi perkembangan industri akibat dampak pandemi Covid-19,” ujarnya. Pada triwulan III tahun 2020, industri pengolahan nonmigas masih mengalami kontraksi -4,02 persen sebagai imbas pandemi, dengan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 17,9 persen.
“Sedangkan, pertumbuhan sektor IKFT pada triwulan III-2020 mulai merangkak naik hingga -0,92 persen dari -4.32 persen di triwulan II-2020 atau lebih baik dibanding pertumbuhan industri pengolahan nonmigas,” tuturnya. Khayam menyatakan, sektor IKFT dengan pertumbuhan positif, antara lain industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia yang naik sebesar 14,96 persen.
“Selain itu, industri tekstil dan pakaian jadi juga naik sebesar -9,32 persen, yang sebelumnya -14,23 persen. Sementara industri lainnya masih stagnan,” imbuhnya. Pada triwulan III-2020, kontribusi sektor IKFT ke PDB nasional mencapai 4,49 persen, dengan sumbangsih terbesar dari industri kimia, farmasi dan obat yang berada di angka 1,97 persen.
Khayam pun memaparkan, perkembangan ekspor dari sektor IKFT masih lebih baik dibanding impornya pada triwulan III-2020, yang nilainya menembus USD27,05 miliar. Sumbangan terbesar berasal dari dari ekspor industri pakaian jadi dan tekstil yang mencapai USD8,0 miliar.
“Sementara itu, di triwulan III-2020, realisasi investasi dari sektor IKFT sebesar Rp 51,96 triliun, yang didominasi oleh industri kimia dan bahan kimia. Sedangkan, tenaga kerja yang terserap sebanyak 6,24 juta orang, di mana penyerapan terbesar di industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 3,43 juta orang,” sebutnya.
Pada tahun 2020, Kemenperin menargetkan kinerja pengapalan produk sektor IKFT bisa menembus senilai USD31,7 miliar, dengan realisasi investasi sebesar Rp84,65 triliun dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 7,37 juta orang. “Guna mencapai sasaran tersebut, ada lima arah kebijakan strtegis yang telah kami tetapkan, yakni pengembangan sumber daya manusia (SDM) industri, pengembangan sarana dan prasarana industri, pengembangan pemberdayaan industri, kebijakan fasilitas fiskal dan nonfiskal, serta kebijakan reformasi birokrasi,” tegas Khayam.
Jurus jitu
Sekretaris Direktorat Jenderal IKFT Kemenperin, Sri Hastuti Nawaningsih menyampaikan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah regulasi untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Salah satunya adalah meningkatkan produktivitas dan utilisasi sektor industri, dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat.
“Contohnya adalah penerbitan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). Dalam aturan juga disebutkan, setiap perusahaan yang mendapat IOMKI wajib memberikan pelaporan secara berkala melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas),” terangnya.
Selama masa pandemi Covid-19, pemerintah juga tetap berupaya untuk melakukan penguatan industri dalam negeri. Berbagai kebijakan yang akan dilakukan, antara lain Kemenperin berupaya menurunkan impor 35 persen sampai tahun 2022.
“Upaya tersebut di antaranya melalui program restrukturisasi mesin dan peralatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Kemudian, penguatan supply chain dengan pemberian insentif Kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE) dan Kemudahan Lokal Tujuan Lokal (KLTL),” sebut Tuti.
Selanjutnya, mendukung percepatan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor TPT dan revisi Permendag No 18 tahun 2019 tentang Registrasi Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan (K3L). Berikutnya, mendukung revisi regulasi Peraturan Menteri Pertanian untuk karantina bahan atau produk kulit, kapas antar wilayah.
“Kami juga mendorong peningkatan masuknya Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) atau fitofarmaka pada kebijakan di Kementerian Kesehatan, serta implementasi Permenperin No 16 tahun 2011 terkait TKDN produk farmasi dalam pengadan obat JKN di Kemenkes,” tandasnya.
Di tempat terpisah, Asosiasi Kimia Dasar Anorganik (AKIDA) menyatakan bahwa peningkatan daya beli masyarakat menjadi kunci agar utilitas pabrikan kimia dasar nasional dapat naik. Ketua Umum AKIDA Michael Susanto Pardi menjelaskan, naiknya daya beli masyarakat akan meningkatkan produksi industri hilir, yang pada akhirnya meningkatkan serapan produk kimia dasar.
AKIDA mencatat serapan produk yang akan memengaruhi serapan produk kimia dasar seperti makanan dan minuman, tekstil, serat rayon, kaca, air minum dalam kemasan, deterjen, sabun mandi, sabun cuci tangan, minyak goreng, ban, plastik, pipa, dan keramik.
Ekonom CORE Hendri Saparini mengatakan, ada tantangan besar bagi industri petrokimia pasca pandemi Covid-19, yaitu ketersediaan bahan baku dan produk turunannya. Industri petrokimia dituntut menemukan inovasi bahan baku dan pengolahan produk turunan dengan harga bersaing dibanding produk luar negeri sehingga lebih kompetitif dan meningkatkan market share. “Salah satu yang menjadi prioritas pemerintah dalam membangun industri manufaktur yang kuat dan kompetitif adalah memperkuat industri hulu petrokimia. Ada beberapa alasan mengapa industri petrokimia menjadi pilihan. Antara lain, total bisnis industri ini sangat besar,” paparnya.