Angin Segar di Tengah Pandemi

Diskon harga gas hingga USD 6 per million British thermal unit (MMBTU) diyakini menjadi angin segar bagi sejumlah sektor industri yang terkena pukulan berat karena pandemi Covid-19. Mereka berharap aturan ini segera berlaku merata ke semua pengguna gas.
Pemerintah telah memberlakukan harga gas untuk industri sebesar USD6 per MMBTU sesuai dengan implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Kebijakan strategis ini diyakini mampu mendongkrak daya saing sektor industri manufaktur di tanah air sehingga akan memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.
“Sudah sewajarnya industri manufaktur mendapat perhatian khusus, karena sektor strategis ini merupakan kontributor terbesar terhadap PDB nasional. Kami berharap kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU ini dapat mengurangi beban industri manufaktur, khususnya di tengah tekanan dampak pandemi Covid-19,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Menperin mengungkapkan, penerapan kebijakan harga gas untuk industri sudah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas kabinet pada 6 Januari 2020. “Arahannya agar harga gas untuk industri mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016, yaitu sebesar USD6 per MMBTU,” tuturnya.
Agus menyampaikan, implementasi harga gas sebesar USD6 per MMBTU di plant gate dapat mendorong industri manufaktur menjadi lebih ekspansif dan meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.
Menteri AGK optimistis, penurunan harga gas industri bakal mendongkrak produktivitas dan utilitas sektor manufaktur di dalam negeri. Hal ini sesuai tekad pemerintah dalam upaya memacu kinerja sektor industri pengolahan nonmigas, dengan menjaga ketersediaan bahan baku dan energi, termasuk mendorong agar harganya bisa kompetitif.
“Sebagian besar industri manufaktur di dalam negeri membutuhkan gas, baik untuk kebutuhan energi maupun bahan baku. Karena itu, harga gas industri di tanah air harus kompetitif, sehingga sektor industri dapat meningkatkan efisiensi proses produksinya, yang ujungnya akan bisa menghasilkan produk-produk yang berdaya saing baik di kancah domestik maupun global,” paparnya.
Menperin meminta, bagi industri yang menerima harga gas sebesar USD6 per MMBTU di plant gate, harus membuktikan bahwa insentif tersebut akan meningkatkan kinerja dan saya saingnya. “Sementara itu, bagi sektor industri yang belum menjadi sektor penerima penetapan harga gas bumi tertentu, akan kami usulkan untuk memperluas daftar penerima manfaat kebijakan tersebut,” imbuhnya.
Adapun, regulasi turunan dari PP 40/2016, yakni Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rekomendasi Pengguna Gas Bumi Tertentu serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Sektor penerima
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam menyebutkan, sektor industri yang mendapatkan harga gas bumi tertentu (USD 6 per MMBTU) itu sebanyak tujuh sektor, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Khayam mengemukakan, sektor binaannya yang menikmati harga gas murah, meliputi industri pupuk, petrokimia, keramik, kaca, dan sarung tangan. “Jumlah perusahaan yang telah mendapat harga gas bumi tertentu sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 89K/2020 sebanyak 115 perusahaan dari total 176 perusahaan,” ungkapnya.
Khayam merinci, hingga per November 2020, realisasi penurunan harga gas bumi untuk industri di wilayah Jawa Barat telah mencapai 100%. Kemudian, sebanyak 82% adalah pelanggan PT PGN untuk industri di bawah Asosiasi Kimia Dasar Anorganik (Akida) dan Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), yang berlokasi di wilayah Jawa Timur.
“Sekitar 20-30% merupakan pelanggan yang masuk dalam Kepmen ESDM No 89K/2020. Selanjutnya, 100% untuk Unilever dan juga untuk industri oleokimia, serta 93% bagi pelanggan di Batam di wilayah Sumatera,” paparnya. Khayam menegaskan, pemerintah bertekad untuk terus berupaya agar pelaksanaan harga gas bumi tertentu ini dapat terealisasi 100%. “Dengan adanya pemberlakuan harga gas ini, kami optimistis dapat meningkatkan pertumbuhan industri di tengah masa pandemi saat ini,” ujarnya.
Tanggapan industri
Ketua Umum Akida Michael Susanto Pardi menyampaikan, gas berkontribusi sekitar 30% dari biaya produksi. Dengan turunnya tarif gas, harga jual kimia dasar di dalam negeri saat ini turun sekitar 3%-4%.
“Penurunan tarif gas membuat harga produk-produk dalam negeri sedikit turun, sehingga bisa mengerem banyaknya produk-produk impor yang banjir ke dalam negeri,” tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan menyatakan, efek penurunan tarif gas berdampak positif bagi kinerja pabrikan selama pandemi. AKLP mendata utilisasi industri kaca lembaran telah tumbuh 230 basis poin (bps) dari realisasi kuartal II/2020 ke posisi 57,5% pada kuartal III/2020. Adapun, angka tersebut akan naik ke level 60% pada kuartal IV/2020.
“Ini perkiraan kami buat pada pertengahan September. Cukup optimistis pada saat tersebut karena harga gas USD 6 per mmBTU menaikkan daya saing dan permintaan ekspor mulai naik,” sebutnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono menyatakan, gas merupakan komponen biaya produksi ketiga terbesar setelah bahan baku dan listrik, khususnya di industri petrokimia. Sejak Juni lalu, anggotanya sejak Juni mulai mampu bersaing di pasar ekspor. “Harga gas turun, biaya produksi turun, sehingga kami bisa berkompetisi,” terangnya. Fajar menyebutkan, sejumlah produk kimia yang diekspor antara lain polyethylene, polypropylene, dan polivinil klorida sebanyak 50 ribu ton. Produk tersebut dikirim ke China. Ekspor ini membantu menutupi penurunan permintaan di dalam negeri. Utilisasi pabrik yang sempat turun pada masa awal pandemi pun perlahan naik. “Sebelumnya turun 85%, sekarang sudah meningkat jadi 90%,” ucapnya.