skip to Main Content

Strategi Industri Kimia Hulu Dalam Rangka Kebijakan Substitusi Impor

Kementerian Perindustrian telah meluncurkan program substitusi impor 35% pada tahun 2022. Langkah strategis Program Substitusi Impor 35% dicapai dengan melakukan penurunan impor melalui substitusi impor pada industri dengan impor besar. Hal ini dilaksanakan simultan dengan peningkatan utilisasi produksi pada seluruh sektor industri pengolahan, dengan target utilisasi 60% pada tahun 2020, 75% pada tahun 2021 dan 85% pada tahun 2022. Kemenperin menargetkan nilai substitusi pada tahun 2022 sebesar Rp152,83 triliun atau sebanyak 35% dari potensi impor tahun 2019 yang mencapai Rp434 triliun. Sektor Kimia Hulu salah satunya menjadi sektor yang ditargetkan dalam program Substitusi Impor 35%. Total impor Bahan Kimia di tahun 2019 mencapai sebesar US$ 18,9 miliar.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang strategi industri kimia hulu dalam rangka kebijakan substitusi impor tersebut, berikut petikan wawancara dengan Direktur Industri Kimia Hulu, Bapak Fridy Juwono.

Bagaimana kondisi impor pada sektor industri kimia hulu saat ini?

Total impor Bahan Kimia pada tahun 2019 mencapai US$ 18,9 miliar, sedangkan pada tahun 2020, terjadi sedikit penurunan menjadi US$ 15,9 miliar.

Terdapat sepuluh jenis industri pada sektor industri kimia hulu dengan nilai impor tertinggi pada tahun 2020 berdasarkan KBLI-nya yaitu: (1) Industri Damar Buatan (Resin Sintetis) dan Bahan Baku Plastik (20131), (2) Industri Kimia Dasar Organik yang Bersumber dari Minyak Bumi, Gas Alam dan Batu Bara (20117), (3) Industri Kimia Dasar Organik Lainnya (20119), (4) Industri Kimia Dasar Organik yang Bersumber dari Hasil Pertanian (20115), (5) Industri Pupuk Buatan Tunggal Hara Makro (20122), (6) Industri Kimia Dasar Anorganik Lainnya (20114), (7) Industri Bahan Farmasi (21011), (8) Industri Pemberantas Hama (Formulasi) (20212), (9) Industri Karet Buatan (20132), dan (10) Industri Kimia Dasar Anorganik Khlor dan Alkali (20111)

Apa saja tantangan yang saat ini dihadapi dalam mengurangi impor bahan kimia, terutama impor komoditi dalam 10 jenis industri tersebut?

Secara umum, tantangan yang dihadapi dalam upaya pengurangan impor adalah industri dalam negeri masih belum mampu memproduksi, atau sudah mampu memproduksi tetapi kapasitasnya masih kurang, sehingga masih menjadi penyumbang impor yang tinggi.

Sebagai contoh, komoditi KBLI 20131 seperti polipropilena dan polietilena sudah dapat diproduksi dalam negeri. Akan tetapi, kapasitasnya masih kurang. Begitu juga pada komoditi KBLI 20117 yaitu etilena, propilena, metanol, etilena glikol, benzena, toluena, stirena, butadiene, dan lain sebagainya. Sementara itu, komoditi belum mampu diproduksi di dalam negeri dan masih sepenuhnya dilakukan impor, yaitu komoditi KBLI 20131 seperti poliuretan, polikarbonat dan poliamida; komoditi KBLI 20117 seperti fenol, propilena glikol dan propanol; sebagian besar komoditi KBLI 20119; komoditi KBLI 20115 seperti metil metakrilat, etil asetat, vinil asetat, dan asam asetat; dan komoditi lainnya

Tantangan lain yang juga dihadapi yaitu pada Industri Bahan Farmasi, di mana 95% bahan baku obat masih diimpor. Hal ini disebabkan oleh struktur industri bahan baku obat yang masih belum lengkap, terutama industri antara (fine chemical) dari petrokimia hulu sampai dengan bahan aktif obat (API). Ketergantungan impor bahan aktif juga terjadi pada Industri Pemberantas Hama.

Selain kondisi di atas, penyerapan produk lokal oleh industri pengguna yang masih rendah juga menjadi tantangan. Contohnya seperti penyerapan produk PET lokal (KBLI 20131) dan penyerapan lisin feed grade lokal (KBLI 20115). Adanya barang impor dengan harga yang jauh lebih murah dan tidak adanya lartas juga menyebabkan rendahnya utilisasi produksi.

Terlihat bahwa kontribusi impor terbesar di sektor industri kimia hulu diberikan oleh produk petrokimia. Berapa besar kontribusinya dalam total impor nasional?

Kondisi supply-demand industri olefin, aromatik dan poliolefin di tahun 2020 yaitu sebagian besar produksinya dalam negeri masih belum bisa memenuhi permintaan, sehingga masih dilakukan impor dengan jumlah yang cukup tinggi. Impor komoditas petrokimia di tahun 2020 mencapai US$ 7,13 miliar.

Impor produk petrokimia hulu dan petrokimia intermediate pada tahun 2020 sebesar US$ 2,03 miliar, dan menyumbang defisit terhadap neraca perdagangan sebesar US$ 1,55 miliar. Produk petrokimia hulu yang banyak diimpor adalah etilena, silena, metanol, benzene, toluene, propilena dan toluena. Produk petrokimia intermediate yang banyak diimpor adalah etilena glikol, propilena glikol, PTA dan VCM. Sementara itu, impor produk petrokimia hilir pada tahun 2020 mencapai US$ 4,89 miliar dan menyumbang defisit terhadap neraca perdagangan sebesar US$ 3,51 miliar. Produknya yang banyak diimpor adalah bahan baku plastik (polietilena, polipropilena, polietilena tereftalat), dan berbagai jenis resin sintetis.

Bagaimana kondisi industri petrokimia dalam negeri saat ini, dan berapa kapasitas industri petrokimia nasional?

Industri petrokimia nasional saat ini mampu memproduksi etilena sebanyak 900.000 ton/tahun, propilena sebanyak 720.000 ton/tahun, benzena sebanyak 585.000 ton/tahun, toluena sebanyak 114.000 ton/tahun, parasilena sebanyak 605.000 ton/tahun, ortosilena sebanyak 125.000 ton/tahun, polietilena (PE) sebanyak 1.186.000 ton/tahun, dan polipropilena (PP) sebanyak 895.000 ton/tahun, sehingga total kapasitas terpasang sebanyak 5.130.000 ton/tahun dengan utilisasi produksi di angka 90-95%.

Beberapa produsen industri petrokimia olefin, aromatik dan poliolefin di dalam negeri di antaranya yaitu PT. Chandra Asri Petrochemical, PT. Lotte Chemical Titan Nusantara, PT. Polytama Propindo, PT. Pertamina – Balongan, PT. Pertamina – Cilacap, PT. Pertamina – Plaju, dan PT. TPPI. Dengan rata-rata kebutuhan nasional atas produk petrokimia sebanyak 6.500.000 ton/tahun, masih terbuka peluang investasi untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor.

Apa saja rencana-rencana investasi pengembangan industri petrokimia yang dapat memberi dampak positif dalam mendukung program substitusi impor?

Rencana investasi industri petrokimia yang saat ini berjalan antara lain pada industri etilena, propilena, polietilena dan polipropilena. Produk tersebut merupakan produk petrokimia utama yang akan dikembangkan dalam rangka substitusi impor sampai dengan tahun 2030.

Sejumlah proyek besar industri petrokimia hanya mengalami penundaan satu sampai dua tahun. Beberapa di antaranya yaitu proyek pengembangan Chandra Asri 2, yang rencana awalnya akan mulai beroperasi di tahun 2024, hanya mundur ke tahun 2026. Selain itu, proyek pabrik naphtha cracker milik Lotte Chemical yang tadinya ditunda sementara, dipastikan mulai berjalan kembali di tahun 2021 dan akan mulai beroperasi pada tahun 2026. Begitu pula dengan Tuban Petro yang sudah mendapatkan kepastian untuk pengembangan TPPI dan Polytama dengan target beroperasi di tahun 2024.

Apakah rencana-rencana investasi tersebut dapat memenuhi target substitusi impor 35% di tahun 2022?

Dari 9 proyek investasi industri kimia hulu yang sedang berjalan, proyek perluasan pabrik Asahimas Chemical yang memproduksi PVC dengan kapasitas 200.000 ton/tahun diperkirakan bisa direalisasikan pada akhir 2021. Proyek ini dapat mendukung substitusi impor sekitar 20.000 ton/tahun dan memberi peluang ekspor PVC.

Sementara itu, sebagian besar proyek lainnya belum bisa digunakan untuk memenuhi substitusi impor 35% di tahun 2022, seperti Proyek Chandra Asri 2 (CAP 2), royek Lotte Chemical Indonesia, Proyek Pertamina-CPC Balongan, Pertamina-Rosneft Tuban dan Polytama, dan proyek gasifikasi batubara. Dan beberapa proyek yang awalnya ditargetkan selesai di tahun 2021 mengalami penundaan akibat COVID-19, yaitu Proyek Cabot Asia Pacific South, Proyek Nippon Shokubai, dan Proyek TPPI Tuban. Sehingga mendorong percepatan investasi hingga tahun 2022 menjadi salah satu strategi yang dijalankan untuk mendukung substitusi impor 35% di sektor industri kimia hulu.

Selain percepatan realisasi investasi industri, apa saja strategi-strategi untuk mengurangi impor di sektor industri kimia hulu?

Beberapa industri kimia hulu mengalami penurunan kinerja akibat lonjakan impor bahan baku dengan harga yang murah. Contohnya yaitu industri lisin feed grade dan poli(etilena tereftalat)/PET, dengan rata-rata penyerapan lokal di dalam negeri selama 3 tahun terakhir hanya sekitar atau di bawah 50%. Selain itu, utilisasi produksi beberapa industri juga belum mencapai 50%. Untuk itu, strategi yang akan dilaksanakan yaitu mendorong penggunaan produk dalam negeri dan menerapkan kebijakan minimum import price (MIP).

Penerapan SNI secara wajib untuk beberapa jenis bahan baku plastik diharapkan dapat menekan jumlah impor produk bahan baku plastik sehingga meningkatkan penyerapan produk lokal di dalam negeri seperti resin polipropilena (PP), resin polietilena (PE), polipropilena kopolimer impak untuk komponen otomotif dan lain-lain.

Implementasi trade remedies juga sedang diusulkan seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk produk ekspansibel polistirena (EPS), serta Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk PET dan Lisin feed grade. Dan yang terakhir adalah mempercepat penerapan larangan terbatas dengan neraca komoditas untuk untuk komoditi bahan kimia yang terganggu kinerjanya akibat lonjakan impor, seperti asam formiat, lisin feed grade, EPS, PET, NC, CMC, dan sebagainya, maupun komoditi yang akan dihasilkan oleh mega proyek petrokimia, guna menjaga menjaga iklim investasi yang ada.

Demikian siaran pers bersama ini untuk disebarluaskan.

Back To Top