skip to Main Content

Potensi Pemanfaatan Limbah Ban Bekas

Oleh: Teresa Astuti Hutagalung

Indonesia merupakan penghasil karet alam terbesar kedua di dunia, dengan produksinya mencapai 3,5 juta ton per tahun atau produktivitasnya sekitar 1,2 ton per hektare (Dekarindo, 2019). Jumlah produktivitas tersebut dinilai rendah jika dibandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam, karena faktor usia pohon karet di Indonesia yang tidak lagi produktif serta kemampuan finansial petani tidak mampu mendukung peremajaan pohon karet.

Hasil produksi karet alam nasional sebagian besar diekspor dalam bentuk lateks karet alam, dan karet alam dalam bentuk lain seperti rubber smoke sheets, technically specified natural rubber (TSNR), crepe dan skim rubber, dengan volume ekspor karet alam mencapai 2,28 juta ton. Di sisi lain, penyerapan karet alam oleh industri dalam negeri pada tahun 2019 sebesar 659.754 ton, dan industri ban merupakan industri yang paling banyak menyerap karet alam dengan komposisi sebesar 42%, diikuti oleh vulkanisir (retreading) ban (16%) dan alas kaki (14%).

Industri ban merupakan salah satu unggulan di sektor karet dan barang karet dengan menyerap lebih dari 250 ribu ton karet alam per tahunnya dan tumbuh secara stabil selama dua dekade terakhir. Beberapa merek ban dalam negeri juga mampu bersaing di pasaran internasional dan mencapai kelas ‘’Global Tire Manufacturer’’ seperti GT Tires, Achilles, Forceum, Swallow, dan sebagainya. Sementara itu, investasi industri ban mengalami peningkatan pada tahun 2017, dengan beroperasinya dua produsen ban global, yaitu Kenda Rubber Indonesia dan Maxxis Internasional Indonesia.

Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, total produksi kendaraan roda dua sepanjang tahun 2019 mencapai 7,2 juta unit dan diperkirakan terus meningkat. Peningkatan kebutuhan ini juga akan berdampak pada peningkatan kebutuhan pasokan ban dalam negeri. Melonjaknya penggunaan ban di dalam negeri, disisi lain memberikan dampak terhadap jumlah ban bekas yang dihasilkan dari moda transportasi tersebut.

End life tire (ELT) merupakan istilah yang umumnya dikenal oleh industri produsen dan pengguna ban. ELT merupakan ban bekas yang sudah tidak dapat digunakan lagi atau divulkanisir. Ban-ban bekas tersebut berpotensi mencemari lingkungan sekitarnya apabila tidak diolah dikarenakan ban bekas tidak dapat terurai sendiri dan memerlukan pengolahan lebih lanjut untuk mengurainya .

Ban berbahan dasar karet, merupakan salah satu jenis polimer sintetis polistiren (polystirene). Polistiren tidak dapat dengan mudah didaur ulang sehingga pengolahan limbah polistiren harus dilakukan secara benar agar tidak merugikan lingkungan (Reska & Martini, 2009).

ELT masih memiliki potensi dan nilai keekonomisan yang tinggi apabila diolah lebih lanjut. Pengolahan ELT yang umumnya dilakukan di dalam negeri dimanfaatkan dengan cara diolah menjadi perabotan rumah tangga dan barang-barang kerajinan lainnya.

Selain menjadi barang kerajinan, limbah ban bekas juga dapat dikonversi menjadi bahan bakar minyak menggunakan konsep pirolisis atau dapat diolah menjadi serbuk ban yang kemudian diolah lebih lanjut menjadi filler barang jadi karet, reclaimed rubber untuk industri kompon dan aditif untuk produksi aspal karet.

Kemenperin tengah mendorong pemanfaatan limbah ban bekas menjadi minyak bakar atau Rubber Crude Oil (RCO) yang merupakan sejenis minyak bakar yang diperoleh dari penyulingan ban bekas. Produk RCO ini biasanya digunakan pada boiler (water cups atau thermal oil) dan juga digunakan pada burner.

Selain RCO, pemanfaatan limbah ban menjadi produk penunjang infrastruktur seperti aspal karet terus dikembangkan. Aspal karet sendiri merupakan campuran aspal dengan karet, di mana karet berperan sebagai aditif dengan dosis yang relatip rendah yakni berkisar 5-7% berat aspal.

Potensi serapan karet untuk aditif aspal karet tersebut cukup besar. Kebutuhan aspal untuk konstruksi jalan diperkirakan sekitar 1,6 juta ton dengan potensi serapan karet alam mencapi 112.000 ton per tahun dengan estimasi karet mencapai 7% berat aspal. Proyek aspal karet ini telah dilakukan oleh Musi Banyuasin dengan kapasitas produksi sebesar 10 ribu ton per tahun (Dadi Maspanger, 2020).

Pengembangan pemanfataan limbah ban menjadi aspal karet ini sangat bernilai ekonomis terutama melihat potensi kebutuhan akan aspal terus meingkat seiring dengan adanya pemerataan infrastuktur terutama jalan di berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu secara kualitas, spesifikasi yang dibutuhkan akan semakin tinggi akibat pengaruh lingkungan yang tidak dapat diprediksi.

Pemanfaatan ELT yang saat ini sudah dilakukan di beberapa negara adalah pemanfaatan ELT sebagai bahan baku untuk menghasilkan energi listrik dengan melalui proses pembakaran. Di Indonesia, pemanfaatan ELT untuk power plant yang menghasilkan energi listrik belum dikembangkan, namun sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. ELT atau ban bekas diharapkan dapat menjadi bagian dari circular economy dan memberikan manfaat luas baik secara nilai keekonomisan maupun manfaat pada lingkungan.

Back To Top