Saatnya Menerapkan Sustainable Fashion

Konsep sustainable fashion mulai didengungkan untuk meningkatkan daya saing industri tekstil dan pakain di masa depan. Bagaimana perkembangannya?
Sustainable fashion ini merupakan gerakan global yang menuntut pelaku industri tekstil dan pakaian untuk lebih ramah lingkungan di tengah menguatnya kesadaran terhadap kebutuhan produk yang berkelanjutan.
Dalam 15 tahun terakhir, dunia fesyen memang berkembang pesat dan massif seiring kebutuhan dan permintaan yang tinggi. Dalam kompetisi di dunia produksi fesyen yang ketat, seringkali tak mempertimbangkan aspek keberlanjutan sehingga produksinya berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.
Menyadari hal tersebut, para desainer fesyen kini mulai untuk berkomitmen mengurangi limbah dengan produksi less waste atau zero waste, diantaranya melalui konsep sustainable fashion.
Pada akhir tahun 2019 lalu misalnya Fashion Trend 2019 yang dilaksanakan di Nusa Dua, Bali, mulai mengampanyekan busana ramah lingkungan. Argumennya menarik, yakni kesadaran akan berbagai macam polusi dan barang tak ramah lingkungan.
Para desainer pun mulai tergugah menciptakan karya-karya busana yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan bahan yang mudah didaur ulang.
Bahan ramah lingkungan yang mulai dikembangkan saat ini antara lain yang terbuat dari bahan rayon serta kayu yang disebut viscose. Produsen viscose terbesar di Indonesia saat ini adalah Asia Pacific Rayon yang berada di Provinsi Riau.
Bahan bakunya adalah viscose rayon atau serat benang yang berasal dari pohon dan dapat terurai secara alami. Selain untuk pakaian, viscose rayon juga dapat diterapkan ke berbagai produk antara lain kebutuhan rumah tangga hungga alat kesehatan dan kecantikan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan optimalisasi pemakaian bahan baku tekstil yang berasal dari dalam negeri sangat penting dalam mendongkrak kinerja tesktil dan produk tekstil TPT Indonesia. Saat ini, Kementerian Perindustrian tengah menjalankan beberapa langkah untuk terus meningkatkan kinerja industri padat karya tersebut.
“Untuk menggenjot daya saing industri TPT, banyak hal yang kami pacu. Salah satunya, memudahkan ketersediaan bahan baku di dalam negeri,”ujarnya.
Menperin menegaskan bahwa penguatan struktur industri dalam negeri mulai hulu sampai hilir akan meningkatkan daya saing nasional. Dengan demikian, produk yang dihasilkan pun lebih berkualitas dan bisa memenuhi kebutuhan pasar domestik serta internasional.
”Optimalisasi pemakaian bahan baku dari dalam negeri sangat penting untuk mendongkrak kinerja industri TPT,” ujar Agus.
Salah satu perusahaan yang mungkin bisa menjawab tantangan pemerintah itu adalah PT Asia Pacific Rayon (APR). Perusahaan tersebut meresmikan fasilitas produksi viscose rayon di Riau pada pekan lalu. Fasilitas yang nilai investasinya mencapai Rp 15 triliun itu menjadi pabrik satu-satunya yang memproduksi bahan baku tekstil secara terintegrasi. Mulai pembibitan pohon yang nanti kayunya dipanen sebagai bahan baku rayon hingga proses produksinya.
Kini kapasitas produksi viscose rayon APR tersebut mencapai 240.000 ton per tahun. APR menargetkan, kapasitas itu meningkat sampai 600.000 ton per tahun dalam beberapa tahun ke depan. Suplai bahan baku APR terhadap industri TPT telah tersertifikasi secara nasional (Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu) dan internasional (Programme for The Endorsement of Forest Certification).
Viscose rayon merupakan serat benang yang berasal dari olahan kayu dan dapat terurai secara alami. Serat rayon produksi APR tergolong material berkelanjutan karena berasal dari bahan baku yang terbarukan. Pemerintah berharap komoditas tersebut bisa mengurangi ketergantungan TPT terhadap bahan baku impor.
Dari fasilitas baru yang menampung sekitar 1.500 tenaga kerja itu, APR diproyeksikan mampu menghasilkan devisa sampai USD 131 juta (sekitar Rp 1,8 triliun). Dari sana pula, pemerintah berharap bisa mendapatkan substitusi impor senilai USD 149 juta (sekitar Rp 2 triliun). ”Jadi, intinya, pabrik itu merupakan lompatan yang besar dan baik untuk ekspor maupun substitusi impor,” tegas Agus.
Kemenperin mencatat bahwa kapasitas industri rayon nasional saat ini mencapai 857 ribu ton per tahun. Angka itu naik dari 536 ribu ton per tahun pada 2018. Salah satu penyebabnya adalah investasi APR dan PT Rayon Utama Makmur melalui pabrik penghasil rayon. Bahkan, investasi dua perusahaan itu berpotensi menaikkan ekspor hingga USD 131 juta (sekitar Rp 1,8 triliun) per tahun.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menyebutkan bahwa viscose rayon yang memiliki sifat alami dan mudah terurai akan sangat berguna bagi industri TPT tanah air. ”Jarang sekali saya mendengar ada produk tekstil yang everything Indonesia,” katanya. Karena itu, dia berharap rayon bisa menjadi produk dari Indonesia yang mendunia.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita menyatakan bahwa pemerintah perlu melindungi industri TPT dari gempuran impor. Cara paling jitu untuk melakukannya adalah melahirkan kebijakan yang strategis.
Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kemenperin, Elis Masitoh menambahkan pemahaman kepada masyarakat bahwa brand asal dalam negeri tidak kalah berkualitas dengan brand asing perlu terus ditingkatkan. “Kita perlu sama-sama memperjuangkan bahwa brand lokal industri itu sejajar sehingga perlu ada pemahaman di masyarakat bahwa brand dari Indonesia tidak kalah saing. Pemerintah telah memiliki rencana aksi pengembangan industri fesen yang terintegrasi, mulai dari mendorong pembentukan brand, peningkatan kualitas produk, promosi dan pemasaran, perluasan akses pasar hingga peningkatan keterampilan dan pengetahuan SDM,” ujarnya.