Investor Daily : Industri Keramik Minta Harga Gas Turun Tahun Ini

Senin, 8 Januari 2018 | 18:23
JAKARTA – Para pelaku usaha keramik yang tergabung dalam Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) mendesak pemerintah menurunkan harga gas industri tahun ini. Sebab, rencana penurunan harga gas sudah diumumkan sejak lama, namun belum direalisasikan.
Ketua Asaki Elisa Sinaga mengatakan, sepanjang 2017, tarif gas untuk industri keramik sangat mahal dan belum juga diturunkan. Padahal, pemerintah berjanji menurunkan harga gas sejak 2015.
Harga gas yang dibeli industri keramik, kata dia, mencapai US$ 8 per million metric british thermal unit (mmbtu), termahal di Asean. Bandingkan dengan negara Asean lainnya, seperti Malaysia, Filipina dan Singapura sebesar US$ 3 per mmbtu.
“Masalah harga gas ini sudah isu lama dan sudah sering kami sampaikan tetapi dari pemerintah belum ada realisasi nyata,” ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, belum lama ini.
Dia mengatakan kinerja industri keramik pada tahun 2017 stagnan karena dua faktor yaitu produk impor banyak masuk ditambah harga gas yang tinggi membuat beberapa pabrikan menghemat biaya produksi sehingga kapasitas produksi dibatasi.
Industri keramik pada tahun ini diproyeksikan masih stagnan jika pemerintah belum menurunkan harga gas. Menurut dia, dampak jika harga gas diturunkan sangat besar karena bisa meningkatkan produksi.
Ia mengatakan industri keramik termasuk industri padat karya karena menyerap tenaga kerja cukup besar, seharusnya pemerintah lebih concern kepada perkembangan industri keramik dalam negeri.
“Pemerintah harus memberikan kebijakan yang menguntungkan untuk industri keramik,” ujar dia.
Sebelumnya, pemerintah kaji pemangkasan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk menurunkan harga gas industri. Kajian ini diharapkan dapat selesai awal 2018, sehingga penurunan harga gas bisa segera direalisasikan.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, dengan mengurangi PNBP, harga gas bisa menjadi US$ 6,3-7 per mmbtu di tingkat hulu. Namun, industri pengguna pada akhirnya masih mendapatkan harga di kisaran US$ 8 per mmbtu.
“Harga sebesar itu masih belum sesuai Perpres penurunan harga gas,” kata Sigit, belum lama ini.
Sigit menuturkan, penghitungan besaran pemangkasan PNBP menjadi wewenang Kementerian ESDM. Yang terpenting, harga gas bisa sesuai Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Saat ini, industri yang lahap energi masih mendapatkan harga gas berkisar US$ 9-10 per mmbtu.
“Kami belum punya hitungan yang detail, karena yang punya hitungannnya ESDM. Kami tunggu dari ESDM agar bisa mengurangi toll fee-nya,” kata Sigit.
Alternatif pemangkasan PNBP, menurut Sigit, paling memungkinkan dibandingkan dengan impor gas, yang sebelumnya pernah diusulkan. Pasalnya, untuk impor LNG infrastrukturnya menyalurkan ke masing-masing perusahaan harus siap. Penyediaan infrastruktur ini membutuhkan investasi yang cukup besar.
“Harus ada floating terminal, siapa yang mau investasi itu? Pembangunannya juga tidak bisa cepat. Kami maunya harga gas bisa lebih kompetitif. Sebab, kalau kita lihat persaingan dengan negara-negara lain ketat sekali, dan harga gas di negara pesaing lebih kompetitif,” kata Sigit.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, pemangkasan PNBP paling tidak hanya bisa mengurang harga gas sebesar US$ 0,7 per mmbtu. Untuk itu, masih dibutuhkan perhitungan dari (Kemenperin), apakah pengurangan PNBP tersebut atraktif atau sebaliknya. (dho)