skip to Main Content

Safeguard Perbaiki Rasio Konsumsi Kain Produksi Dalam Negeri

Pada tanggal 12 September 2019 Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengajukan permohonan kepada Komite Pengamanan Indonesia (KPPI) untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard). API menilai bahwa kondisi produsen kain dalam keadaan injury dan mengalami kerugian serius akibat lonjakan impor yang terjadi sejak tahun 2016. Industri tekstil pada keadaan kritis karena mengalami kesulitan keuangan baik secara likuiditas, solvabilitas, aktivitas dan profitabilitas karena tekanan impor kain. Apabila tidak ditanggulangi hal ini dapat mengancam keberlangsungan industri tekstil dan juga industri hulu serta hilirnya. Safeguard menjadi salah satu trade remedies yang dapat dipilih oleh pemerintah suatu negara yang bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari kondisi injury akibat lonjakan impor.

Menindaklanjuti permohonan tersebut, KPPI melakukan penyelidikan sejak tanggal 19 September 2019. Penyelidikan dilakukan terhadap lonjakan volume impor 107 HS kain yang diusulkan oleh API dengan periode penyelidikan Januari 2016 sampai dengan Juni 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa telah terjadi lonjakan impor sebesar 31,80% dari 238 ribu ton pada tahun 2016 menjadi 413 ton di tahun 2018. Peningkatan sebesar 15,65% juga terjadi selama periode semester I 2019. Trend positif ini menjadi bahan rekomendasi KPPI kepada Kementerian Perdagangan untuk mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) terhadap produk yang diselidiki. Selanjutnya pada tanggal 18 Oktober 2019 melalui surat nomor 991/M-DAG/SD/10/2019, Menteri Perdagangan menyampaikan keputusan kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan BMTPS.

Kebijakan safeguard produk kain ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 162/PMK.010/2019. Berdasarkan peraturan tersebut, impor produk kain dikenakan bea masuk tambahan berupa BMTPS  selama 200 hari terhitung sejak tanggal 19 November 2019 hingga 26 Mei 2020. Kebijakan ini berlaku pada impor 107 HS kain sesuai BTKI 2017. Ada lima kelompok produk kain yang dikenakan BMTPS yaitu kain tenunan dari kapas; kain tenunan dari serat stapel sintetik dan artifisial; kain tenun dari benang filamen sintetik dan artifisial; kain tenunan khusus dari sulaman; dan kain rajutan. Dengan pengenaan bea masuk ini, harga kain impor menjadi lebih mahal dan produk lokal akan lebih kompetitif.

Selanjutnya pemerintah memberlakukan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dengan menerbitkan PMK 55 tahun 2020 yang berlaku sejak 27 Mei 2020 sampai dengan 8 November 2022. Besaran tarif berbeda untuk setiap HS dan periode regulasi. Rentang waktu dibagi menjadi 3 yaitu periode I (27 mei s.d. 8 November 2020), periode II (9 November 2020 s.d. 8 November 2021) dan Periode III (9 November 2021 s.d. 8 November 2022). Nominal tarif yang dibebankan berkisar antara Rp. 1.846 s.d  Rp. 11. 426 per meter kain. Bea masuk yang dikenakan pada setiap periode juga berbeda, semakin lama semakin kecil. Berdasarkan ketentuan World Trade Organization (WTO) safeguard hanya dapat dilakukan maksimal 3 tahun. Selama masa pemberlakukan industri dalam negeri melakukan penyesuaian terstruktur sehingga apabila regulasi safeguard telah berakhir, mereka memiliki daya saing yang lebih baik dan mampu berkompetisi dengan produk impor.

Namun demikian, pelaksanaan PMK tersebut dinilai belum efektif karena impor kain dari Vietnam dan Malaysia melonjak cukup besar. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 78/PMK.010/2021 yang mengeluarkan Vietnam dan Malaysia dari pengecualian. Dengan regulasi ini diharapkan penurunan impor akan lebih efektif dan penyerapan produk domestik di pasar lokal dapat lebih optimal.

Safeguard kain telah berlaku selama lebih dari dua tahun dan akan berakhir pada tanggal 8 November 2022 mendatang. Kebijakan ini diharapkan memberikan dampak yang signifikan terutama dalam mendorong pertumbuhan industri tekstil dan perekonomian negara. Selain itu, utilisasi juga meningkat dan produk industri tekstil dapat terserap maksimal di pasar domestik serta terjadinya peningkatan daya saing di pasar global. Harapan lainnya adalah dapat menggeser posisi Indonesia menjadi net eksportir kain dan diperolehnya surplus neraca perdagangan, sehingga kontribusinya terhadap PDB nasional juga meningkat.

Salah satu indikator keberhasilan dari regulasi ini adalah terjadinya penurunan volume impor kain, khususnya produk yang dikenakan BMTP. Berdasarkan data BPS terjadi trend penurunan impor 107 HS kain yang dikenakan safeguard sejak triwulan III 2019. Volume impor turun 52% dari 125 ribu ton menjadi 59,5 ribu ton pada triwulan III 2020 sebagaimana disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Volume Impor Kain (107 HS safeguard) (Ribu ton)

Jika kita bandingkan dengan total produksi dan konsumsi dalam negeri. Sejak diberlakukannya safeguard rasio impor kain terhadap konsumsi domestik semakin kecil. Hal ini berarti bahwa penggunaan kain hasil produksi industri tekstil dalam negeri oleh industri hilirnya meningkat. Berdasarkan Tabel 1 Rasio penggunaan kain impor dengan konsumsi domestik turun dari 0,4 pada tahun 2018 menjadi 0,31 pada tahun 2020.

Tabel 1. Rasio Impor Terhadap Konsumsi Kain Produksi Dalam Negeri

Kebijakan safeguard produk kain masih akan berlaku hingga 8 November 2022. Diharapkan rasio impor terhadap konsumsi kain lokal akan semakin kecil sehingga dapat dipastikan bahwa daya saingnya juga meningkat di pasar domestik. Hal ini dapat tercapai apabila industri tekstil dapat meningkatkan efisiensi produksi dan produktivitas, transformasi teknologi, responsif terhadap perkembangan dan permintaan pasar, serta mengoptimalkan berbagai stimulus yang diberikan oleh pemerintah termasuk Kementerian Perindustrian.

——–

Penulis: Siti Nurkomariyah
Fungsional Dosen Politeknik APP Jakarta

Back To Top